Aku Ingin Sekolah
18 April 2015
Seorang anak yang keturunan dari keluarga
kurang mampu dengan ekonomi yang tidak mumpuni untuk mengecap pendidikan yang
seharusnya didapatkannya dengan selayaknya harus menelan kepahitannya sendiri.
Eby adalah seorang anak perempuan yang dibesarkan dari keluarga kurang mampu
memiliki cita – cita yang tinggi untuk menjadi anak yang berprestasi dan
berbakat dalam bidang dan keahlian yang dimilikinya. Eby bersama keluarganya
tinggal di sudut salah satu kota terbesar di Surabaya. Sejak seusia dini Eby
suka melihat – lihat koran dan mencoba membaca dengan gaya buta hurufnya seolah
– olah bisa membaca. Setiap hari Eby selalu memperhatikan kakeknya membaca
koran di teras rumah. Inilah yang membuat Eby termotivasi ingin segera bisa
sekolah dan belajar ilmu yang diajarkan di sekolah oleh para guru.
Setiap sore Eby rajin pergi ke musholla
terdekat untuk belajar mengaji dengan guru mengajinya tanpa biaya sepersen pun.
Keinginan terbesar untuk menjadi anak yang pintar, akhirnya Eby bisa lancar
mengaji mengenal huruf – huruf hijaiyah yang didapatkannya. Walaupun Eby masih
buta huruf dengan huruf abjad dan latin, tetapi Eby tidak buta huruf dengan
huruf hijaiyah. Eby juga rajin mengulang Iqra’nya di rumah dan sudah lancar.
Eby yang selalu membantu orangtuanya membersihkan rumah, mencuci baju, dan
belajar sendiri sehingga membuat orangtuanya bangga padanya. Eby tidak berkecil
hati untuk mengejar keinginannya agar bisa sekolah seperti teman – teman
sepermainannya.
Eby memiliki seorang tante yang sama – sama
tinggal di Surabaya, namun beda nama jalan dan berjauhan sekitar 5 kilometer
dari tempat tinggalnya. Disana ada tetangga
tantenya yang berprofesi sebagai seorang guru Sekolah Dasar (SD) di
salah satu kotanya. Guru itu bernama ibu
Santa seorang beragama Kristen Protestan yang sangat ramah tamah dan suka
tersenyum. Ibu Santa sudah mengetahui kehidupan keluarga Eby yang hidup susah.
Ibu Santa berencana membantu mengajarkan Eby membaca, menulis dan berhitung
dengan cara mengajak bermain dirumahnya. Eby sering mengunjungi rumah tantenya
dan bermain dengan teman – temannya di sana. Saat sedang asyik bermain, Eby di
panggil oleh ibu Santa dari kejauhan. Eby segera menghampiri ibu Santa dengan
sopan. Setelah dijelaskan oleh ibu Santa untuk mengajarkan Eby membaca, menulis
dan berhitung, langsung wajah Eby tampak kegirangan dan senang. Eby langsung
menerima tawaran dari ibu Santa untuk belajar setiap hari pukul empat sore di
rumah ibu Santa. Eby mengucapkan terima kasih dan pamit pulang untuk
memberitahukan berita ini kepada orangtuanya.
Eby
langsung pulang dan memberitahukan berita ini kepada orangtuanya, namun
orangtuanya tidak mengijinkan anaknya karena takut merepotkan ibu guru itu. Eby
sempat sedih dan menangis. Keeseokan hari, Eby kembali mendatangi ibu Santa dan
mengutarakan apa yang dikatakan ibunya, tetapi ibu Santa mencoba membujuk Eby
dengan memberikan saran agar diam – diam dari orangtuanya dengan alasan pergi
berkunjung kerumah tante untuk bermain seperti biasanya. Eby menyepakatinya dan
mengikuti saran guru itu.
Setelah menjelang sore hari, Eby mendatangi
rumah ibu Santa. Eby di persilahkan masuk untuk mencicipi beberapa aneka
camilan dan minuman. Percakapan dimulai dari pertanyaan ibu Santa tentang apa
keinginan terbesar Eby sendiri. Eby mengutarakannya dengan berharap besar agar
bisa sekolah di sekolahan formal karena ingin mengejar cita – citanya sebagai
seorang guru seperti ibu Santa. Baginya profesi sebagai guru itu sangat
mulia karena bisa memberikan ilmu yang
didapatinya dan diajarkan kepada murid – muridnya kelak. Setelah percakapan
diakhiri, ibu Santa langsung mengajak ke ruang belajar anak – anaknya. Eby di
ajarkan mengenal huruf – huruf abjad dan menghafalkannya. Lalu kemudian
mengajarkan membaca buku pelajaran Bahasa Indonesia Kelas 1 SD. Dari huruf
abjad yang diajarkan padanya, Eby bisa menyerap dengan cepat dan menghafalnya
satu persatu. Eby sudah terbiasa melihat huruf abjad tetapi baru bisa
mengenalnya sekarang.
Ibu Santa hanya bisa mengajarkannya setiap hari
dalam waktu satu jam saja, dari pukul 4
sampai 5 sore. Kemudian Eby pamit pulang setelah waktu sudah menunjukkan
pukul 5, agar Eby tidak terlalu malam untuk kembali ke rumahnya. Setiba di
rumahnya Eby kembali mempelajari pelajaran yang sudah diajarkan padanya.
Kegiatan ini dilakukan Eby setiap hari dengan semangatnya yang tinggi walaupun
tidak harus mendapatkan pendidikan formal dahulu. Setidaknya bisa membaca,
menulis, dan berhitung adalah modal dasar dan utama yang dipegang oleh Eby.
Seiring waktu berjalan ke hari, dari hari ke
minggu, dari minggu ke bulan, dan dari bulan ke tahun. Sudah satu tahun Eby
belajar dengan ibu Santa. Kini Eby sudah mahir membaca, mampu berhitung, dan
bisa menulis. Eby sudah mendapatkan empat modal ilmu yang dimilikinya yaitu
membaca, menulis, berhitung dan mengaji sebelum dia mencicipi bangku formal.
Saat itu umur Eby baru menginjak 6 tahun. Di sekolah formal pada zaman
Soeharto, anak harus masuk sekolah SD berumur 7 tahun. Tetapi Eby tidak sulut
hatinya dan tidak terlalu bersedih hati karena modal utama sudah dia pegang.
Dengan inilah Eby meyakin dirinya suatu saat dia akan mencicipi bangku sekolah
sesungguhnya.
Setahun kemudian, Eby beranjak umur 7 tahun dan
dia semakin yakin dan percaya diri, kegiatan rutin belajar mandiri dan membantu
orangtua tidak pernah ditinggalkannya. Sampai pada suatu waktu, Eby mendengar
bahwa orangtuanya mendapatkan rejeki berlebih dan dia akan disekolahkan oleh
orangtuanya. Eby sangat senang dang girang. Eby membayangkan duduk dibangku
sekolah berseragam putih merah. Namun berhari – hari Eby menunggu kesempatan
itu tidak terwujud juga. Eby sempat bertanya pada orangtuanya, mengapa dia
masih belum di sekolahkan juga. Orangtunya menjawab bahwa sekolah Eby diundur
tahun depan saja dengan nada sedih. Eby memakluminya dan berusaha tegar walau
sedikit kecewa.
Selama umur 7 tahun dia lalui dengan kegiatan
yang biasa dia lakukan. Eby menepis semua keinginannya dengan tidak terlalu
berharap dan mengakibatkan kekecewaan yang sangat mendalam. Eby mencoba
melupakan bangku sekolah walaupun di hati kecilnya menjerit ingin sekolah. Eby
masih rajin membaca koran. Eby memulai idenya dengan cara membaca korang dengan
lebih cepat lagi dan tahu makna yang dibacanya, tidak hanya sekedar membaca
seperti yang dia lakukan setahun yang lalu. Dia pun meningkatkan cara
belajarnya. Sebenar Eby sudah tidak serutin dahulu yang suka membaca setiap
hari, namun kini dia mengatur waktunya sendiri antara belajar, membantu
orangtua, dan bermain dengan teman – temannya. Hanya itu yang bisa dilakukan
oleh Eby.
Eby pernah mencoba menjual jajanan kecil
dirumahnya sendiri, jajanan itu dibelinya dari pasar pagi. Uang itu dia
dapatkan dari pemberian orangtuanya yang dia kumpulkan sendiri. Pekerjaan ini
hanya dilakukan selama satu minggu saja. Setelah itu dia tidak melakukannya
lagi. Hari – harinya terasa begitu jenuh dan membosankan. Setiap hari
kegiatannya hanya itu – itu saja. Kadang – kadang mampir ke rumah tantenya dan
mengeluh kepada tantenya untuk disekolahkan. Tantenya juga tidak mampu lagi
karena ekonomi tante beda tipis dengan orangtuanya. Tantenya menyuruhnya untuk
bersabar.
Beberapa bulan kemudian, tiba – tiba
keluarganya tertimpa musibah, bahwa orangtuanya sudah tidak sanggup lagi
membayar uang kontrakan lagi. Eby dan keluarganya diusir dari kontrakan, dan
mereka menetap sementara di rumah tantenya selama 3 bulan. Tantenya menyarankan
untuk membawa Eby dan keluarganya kembali ke kampung halaman di Padang agar Eby
tidak terlantar. Akhirnya Eby dan keluarga dibantu untuk dibawa ke kampung
halaman. Setiba disana Eby disambut nenek dan kakeknya dengan riang. Eby
merasakan hidup karena kampung halamannya begitu hijau dan luas. Eby tidak
merasa jenuh atau bosan menjalani kehidupannya lagi tanpa sekolah. Eby membantu
nenek dan kakeknya bekerja di sawah dan di ladang. Perkebunan, ladang dan sawah
milik kakek dan nenek sangat luas dan banyak menghasilkan jenis macam makanan
yang ditanam. Eby bekerja sangat giat dan juga ilmu berkebun dan bersawah pun
dia sudah dipraktekannya dan menjadi sebuah kebiasaan sehari – hari.
Tak terasa setahun sudah menjalani kehidupan di
sebuah desa yang damai dan nyaman ini. Nenek dan kakeknya mencoba menanyakan
tentang pendidikannya. Dengan hati sedih Eby hanya menjawab belum bersekolah.
Nenek dan kakeknya merasa iba dengan cucunya, dan mereka berjanji akan
menyekolahkan cucunya di desa ini walaupun sekolahnya murah dan jelek.
Keesokkan harinya, Eby dibawa di sebuah Yayasan Panti Asuhan untuk menampung
anak yatim piatu , orang miskin, dan tidak mampu. Eby didaftarkan di Yayasan tersebut dan disambut baik oleh
pengurusnya. Setelah proses serah terima Eby ke Yayasan ini, akhirnya Eby di
daftarkan untuk masuk di bangku sekolah.
Akhirnya Eby bisa masuk sekolah seperti teman –
teman yang lainnya. Eby menjadi siswi berprestasi dan menjabat sebagai juara
kelas di sekolahnya. Eby begitu giat dan semangat untuk belajar dan sekolah.
Kini Eby bisa memimpikan cita – cita nya untuk meneruskan sekolahnya ke jenjang
yang lebih tinggi. Setiap kali ada acara siswa berprestasi atau lomba siswa
teladan dan cerdas cermat selalu disuruh untuk mewakili dari sekolahnya terjun
mengikuti lomba – lomba tersebut. Eby mengecap prestasi dan kadang juga gagal
untuk menjadi juara di lomba – lomba karena persaingan kuat antar kecamatan dan
sampai propinsi.
Enam belas tahun sudah dilewati Eby menginjak
pendidikan sampai lulus perkuliahan. Kini Eby sudah menjadi orang yang sukses
di keluarganya walau dari bantuan Yayasan, namun tidak mengecilkan hati Eby.
Eby berharap kelak dia dapat membantu mendonasikan rejekinya dari hasil
kerjanya selama ini untuk adik-adiknya di Yayasan tersebut. Eby tidak malu
pernah hidup sebagai orang disantuni, malah sebaliknya Eby sangat bersyukur
bisa mewujudkan keinginannya bersekolah sampai sukses.
Setiap orang punya jalan dan rejekinya yang
berbeda, hanya bagaimana cara kita mensyukuri dengan cara lapang dada dan
bersyukur seperti yang dialami oleh Eby. Dari keluarga tidak mampu dan dapat
meraih kesuksesannya dengan baik.